Minggu, 09 September 2012

...

aku pernah berjanji, jika kamu datang, aku tidak akan pernah bertanya kenapa baru sekarang. aku pernah bersumpah , jika kamu datang, aku tenang )*
aku boleh memuji diri sendiri, disana , ditempat kita pertamakali dipertemukan kembali, akhirnya aku tau aku bukan seorang pengingkar. ya. aku merasa tenang. seperti tidak perlu ada apa-apa yang terucap untuk saling terlihat dekat. sungguh, aku tenang. bahkan saat mengingat aku yang sedang bersamamu, seperti saat ini.

)* jika kamu datang, sadgenic book, rahne.

Surat Cinta Sang Perwira

Maret, bulan masih malu untuk utuh.

aku duduk memandang bulan. dia masih malu. belum penuh. seperti engkau yang dulu masih malu. belum mau sepenuhnya kusebut kekasih itu. padahal aku, bisa saja memilikimu malam itu juga. saat aku berteriak dengan keras di depanmu. didepan tubuh penuh lebam bekas amarahku yang tak bisa lagi kutahan itu. kau masih ingat itu bukan, kekasihku yang ayu? wajah kaget dan takutmu dengan suara lantangku malam itu, tertutup dengan airmata yang membuatku lega dengan senyum tipis sedetikmu diujung sekaan air matamu itu, dinda. iya. akupun masih ingat kalimatku " Bahkan, Aku berani menyeret penghulu untuk menikahkan kita sekarang juga disaksikan bedebah yang malam ini menidurimu itu !" dindaku, sungguh, sedikitpun itu bukan sekedar amarah seorang lelaki yang buncah karena melihat wanita yang dikasihinya telah bercumbu dengan lelaki bajingan didepan matanya sendiri. malam itu, aku sebenarnya berjanji. janji yang ternyata tak mau kau tagih padaku. dinda, kekasihmu ini rindu sekali padamu.

Maret, purnama itu indah sekali.

kau membalas suratku? sungguh. aku tau, sulit sekali pasti mengirimkannya ke tempat ini. mungkin ini bukan surat balasan pertamamu. aku yakin pasti sudah banyak surat yang ingin kau kirimi untuk kangmasmu ini. Kau risau akan apa, dindaku? ada yang mengusikmu lagi? dinda, Nanti, jika masalalu kembali mengusikmu, berteriaklah sampai lepas semua bayangan yang menempel di nadimu itu. dan aku akan memastikan, saat itu kau ada dipelukanku ! Ya, bahkan doa-doaku dari jauh ini sanggup memelukmu erat sehangat lenganku.
Dinda. aku tau kau pasti percaya jika kubilang, aku bisa saja membunuh semua keparat. semua lelaki bedebah yang pernah menidurimu seperti kau itu jalang yang diam saja ketika paras ayumu itu dilempari mereka dengan uang kotor najis itu ! Tetapi kekasihku, sebelum itu aku lebih ingin membunuh semua kenangan pahit yang dipalukan hidup pada pembuluh darahmu itu. karena aku tau, itu lebih menyakiti dan menakutimu sepanjang hidup dibanding bayangan wajah-wajah para hidung belang sialan itu .
untuk melakukan itu, aku tak punya banyak kekuatan jika kau tak membantuku, sayang. dindaku yang ayu, bantu aku membunuh semua kepahitan hidupmu dimasalalu itu dengan tersenyum menatap masa depan. ya. senyummu yang meruntuhkan hatiku sejak pertama melihatmu itu adalah kekuatan maha dahsyatmu. kangmasmu ini rindu, rindu senyummu itu. selipkanlah fotomu sedang tersenyum, semoga Tuhan berbaik hati mengijinkannya sampai ke tenda ditengah hutan ini, sayang.

Maret, hari ke 29.

aku tak sabar menunggu foto itu. tapi seperti biasa, aku tidak tau apakah suratku sampai, bahkan suratku diawal bulan yang lalu aku tidak tahu apakah sudah sampai ditanganmu? tetapi dinda, aku mendapati surat terbarumu. kita harusnya menuliskan tanggal dan menomorinya mungkin, biar aku tau apakah suratmu yang sampai padaku ini balasan suratku yang mana. tapi jika kau tak setuju tak apa, tak masalah surat mana yang kuterima, membaca pesanmu apapun itu juga sudah mampu membuatku bernafas lega sepanjang hidup ditengah deru meriam ini.
Dinda, kau berpindah rumah lagi? aku membaca alamat terakhirmu. mungkin suratku bulan lalu tak akan pernah sampai di tanganmu jika kau sudah berpindah rumah. atau ini alamat tempat kerja barumu? kenapa? mulut para tetangga atau rekan kerja  kembali mengusikmu? apa yang mereka bicarakan? kesucian lagi? demi Tuhan, Dinda. jangan bicara tentang kesucian dihadapanku. serendah muntahan yang dilemparkan orang ketempat sampah paling menjijikkan di kota paling kotor pun, sesering para lelaki memakimu anjing dan meludahimu sambil melemparimu uang najis itu, secerewet mulut tetanggamu dan para rekan kerjamu yang mengutukimu agar kau dirajam dineraka seperti lirihmu bercerita tentang itu dalam deraian airmata dihadapanku dulu, tetap saja, dari rahimmu itu nanti akan lahir anak-anakku yang nanti akan rela meminum air basuhan kakimu. jadi, Dindaku yang ayu, sungguh. tak pantas lagi kau tangisi cercaan sekitarmu tentang masalalumu. kau kini bukanlah wanita yang pantas di cerca seperti itu. kau sudah menjadi wanita ayu yang mencoba memperbaiki segalanya. kau sekarang adalah wanita yang akan melahirkan anak-anak yang kelak akan para pencecar itu hormati ketika lewat dihadapan mereka. percayalah padaku, Dinda. tersenyumlah, perlihatkan surga kecil yang selama ini aku lihat dari bibir manismu itu.

Juni. tanggal 15.

Adinda. surat terakhirmu itu. sungguh, demi yang Maha Menggantikan rembulan dengan fajar, itu membuat seluruh hutan serasa hening. aku hanya dapat mendengar suara airmata yang jatuh. karena degupku pun serasa berhenti saat itu. kenapa kau menangis dalam surat itu? jangan menangisi kepantasan, sayangku. itu sungguh mengiris hatiku sampai habis. mungkin meriam nuklir yang disiapkan musuh diluar sana akan sanggup menghancurkan ragaku dengan cepat, tetapi tangisanmu tentang kepantasan untuk kucintai jauh lebih cepat meremukkan hatiku hingga menjadi debu. 
sungguh, kita tak berbeda jika kau tak pernah bertemu para bedebah itu sayang. kita ini sama. jika kau menghinakan dirimu, akupun hina dimata musuhku. jika kau merendahkan dirimu, aku pun rendah dimata penguasaku. sungguh kita ini sama wahai engkau yang ditiitipi lukisan seindah langit sore dalam sekali tarikan bibirmu itu. berhentilah. berhentilah menangisi kepantasan lalu memintaku untuk meninggalkanmu. Demi Tuhan yang Maha Pemberi maaf pada para pendosa yang bertaubat, sungguh, sehelaan nafaspun aku tak ingin meninggalkanmu. tetaplah menjadi kau yang sekarang. yang tidak takut pada cercaan. yang percaya aku akan kembali, menggenggam tanganmu setelah mengucap janji pada Tuhan di depan penghulu. jadilah kekasihku yang percaya kita akan segera berada di tengah tawa bocah-bocah lucu yang berlarian dalam rumah kecil kita yang jauh dari segala masalalu kita kelak. berjanjilah. jangan lagi menangisi kepantasan. sungguh. kalau kau tak pantas, Tuhan tak akan sengaja mempertemukan kita, sejauh ini.

Agustus, tanggal 23.

iya. negera kita akhirnya merdeka. musuh telah kalah. Tuhan Maha Baik dan Adil. segala doa-doa disujud pada malam-malam yang mencekam itu terkabul. kau senang, sayang? iya. akhirnya aku akan pulang. kita akan segera bertemu. segalanya tak pernah ada yang sia-sia. aku sampai kebingungan kata-kata untuk bersyukur lagi kepada Tuhan. 
sayang. bertemu denganmu dan lalu jatuh cinta itu juga kemerdekaan bagi hatiku . maka itu, ragaku berjuang demi negara dan hatiku berjuang demi bertemu lagi denganmu. dan segalanya terasa benar sekarang. 


ketika sebuah pertanyaan tentang cinta ditanyakan pada banyak sekali kepala.

Bagaimana menurutmu tentang dua pasang mata yang tak pernah bertatap lalu jatuh cinta ? 
Ya, aneh. Ya, mustahil. Ya, kesementaraan. Ya, benar, lelucon. Ya ya ya, ketergesaan. Ya, baiklah, boleh juga dibilang kesemuan dari nafsu yang menggebu. Keputusasaan. Apa? oh ya, hanya dipas-paskan. Emm.. oke, itu hanya tidak akan bertahan lama. Ah. Iyasih, nanti juga cepat bosan. Hemmm.. bisa juga, begitu ketemu segalanya berkesudahan. Nah, kan. Bisa saja, bukan? Hah? kau menganggapnya itu benar-benar ada? Ah. Kau bijak sekali mengatakan itu kesengajaan Tuhan, bener, mana kita tahu, ya? Wah.. iyasih, cinta buta. Haha.
Tunggu ... hei, setahuku semua yang tadi dibilang bukankah itu ada dalam cinta?