Satu (satunya) hati yang kuberi segalanya.
Pramoedya mengerjap, telisik sinar
yang melewati celah kecil dicendela yang tak tertutup horden itu menyentuh
kulit diatas matanya, panas, silau sekali. Dia bergerak sedikit, mencoba
membuka mata sepenuhnya, sekelilingnya masih samar lalu pelan-pelan dilihatnya
disebelah gulingnya tak adalagi seorang wanita yang semalam juga berbaring
disana. Dia menghembus nafas, lalu menghempas tubuhnya pelan ke ranjang, matanya
memandang berkeliling ke langit-langit kamar, dengan sekali tarikan nafas dia
bangkit terduduk.
Setelah Mengecek beberapa email pekerjaan yang masuk.
Lalu dia meletakkan tabletnya dan meraih smartphone nya dan tersenyum menatap
wallpaper yang terpampang disana. Wanita itu. Yang semalam berbaring
disampingnya dan pagi saat membuka mata sudah tak ada dan sengaja tak membuka
horden karena tau sinar matahari akan mengganggunya yang sedang kelelahan pulang
lembur semalam.
Senyum wanita ini, Quesha. Tuhan
Maha melukis keindahan pada senyuman wanita ini. Tuhan Maha Baik dengan
memberikan kekuatan pada sempilan rusuk lemah seperti Quesha dengan senyumnya
yang dapat mengalahkan segalanya.
Dia ingat sekali bagaimana dia
pertamakali merasakan ada kekuatan dalam senyuman Quesha. Dia ingat. Tak akan
pernah dilupakannya.
Bagaimana Quesha setelah berteriak “
POLISI..! POLISI..!!” lalu berlutut kalah menahan airmata dengan senyumannya
itu sambil memangku tubuh Pramoedya yang remuk sesaat setelah 5 orang pria
bertubuh besar dengan otot-otot dan rupa menyeramkan menginjak, menendang,
memukul dan hendak menghabisinya di belakang gang sempit kos Quesha.
“ Berhentilah. Aku yakin kau pun tau
semua orang akan mati. Dan aku tau kau akan pulih setelah besok kau pergi ke
Dokter. Tapi tahukah kau, hatiku tidak bisa pulih lebih cepat dari luka
disekujur tubuhmu ini? Teruslah hidup seperti ini jika kau sudah memberitahuku
kemana aku bisa mendapatkan penyembuh luka dihati yang cepat. Kau dengar aku
kan, Pram? “
Quesha marah, tapi tersenyum. Dia
menangis, tapi tersenyum. Dan itu senyum yang tulus. Bukan pura-pura untuk menutupi
amarah dan kesedihannya. Tapi dia memang ingin tersenyum, melihat Pramoedya
masih membuka mata dan bernafas meski tersengal.
Saat itu benar-benar pertama kalinya
Pram mendengar Quensha berbicara di depannya. Sebelumnya dia hanya mengenal
Quesha lewat matanya yang diam-diam melirik ketika wanita itu tengah duduk
diteras kosnya saat dia sedang pulang dari pemenuhan kebutuhannya itu. Sebenarnya
Pramoedya terkejut, darimana Quesha tahu namanya saat itu.
Pramoedya, dalam pandangannya yang
samar seperti melihat ada cahaya berpendar di sekitar wajah ayu Quesha. Dia
merasakan sekali tetesan airmata di luka robeknya yang menganga kecil itu.
Perih, tapi dia merasa ada rasa nyaman yang seperti membebaskannya dari segala
perih yang terbiasa dirasakannya itu.
Pramoedya menarik nafas. Masalalu.
Dia sebenarnya sudah membungkusnya lalu menaruhnya dalam semacam kotak dan
sudah dibuangnya jauh-jauh. Tetapi setiap menatap foto Quesha disaat dia sedang
sepi, serta merta seluruhnya kembali seperti tombol rewind ditekan oleh Tuhan. Mengembalikan masalalunya pelan-pelan
dalam ingatannya.
Kehilangan keluarga sedari kecil
membuatnya tak mengerti jalan yang sebenarnya harus diambilnya yg mana. Dia
hanya tau cara mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi metropolitan
seperti menunjukkannya kebutuhan yang lebih dari yang seharusnya sudah puas dia
dapat. Kebutuhan itu menuntutnya memiliki banyak sekali uang. Dan dia hanya
mengenal cara yang dia lihat sewaktu masih gamang dijalanan sendirian.
Parasnya yang tumbuh tampan itu
membuatnya menarik dimata wanita kesepian yang hanya diselimuti uang oleh para
suami. Tubuh nya itu bahkan menarik suami-suami yang bosan dengan para wanita.
Drugs. Bukankan hal seperti ini
tidak perlu dijelaskan. Drugs itu kebutuhannya. Dan dia demi mendapatkannya
sengaja mencari uang dari pelukan wanita atau pria-pria berdasi yang
pengawalnya seram sekali itu.
Quesha. Selama ini dia duduk di
teras melihat Pramoedya pulang sempoyongan membawa sesuatu digenggamannya.
Kadang Pramoedya terlihat berjalan gagah, kadang terhuyung, sesekali
memar-memar. Wanita itu, entah kenapa menyukai duduk diteras memandangi lelaki
yang samar wajahnya karena gelap malam itu.
Mungkin mereka tidak tahu, diatas
sana Tuhan sedang tersenyum membiarkan keterbiasaan seperti itu membuat mereka
harus menyadari kesengajaan yang sudah lama direncakan Tuhan untuk mereka.
Tuhan hanya ingin tahu, bagaimana Pramoedya belajar di kegelapan dan tersenyum
bahagia memuji Nama-Nya saat tiba ditempat yang penuh cahaya yaitu rumah dengan
segala senyuman Quesha menyebar disudut-sudutnya.
Tidak mudah lari dari kegelapan,
apalagi mencoba berjalan tertatih keluar dari dalam nya, Ketika berhasil
keluar, dari segala sudut ancaman itu menyelidik menguntit setiap langkah
Pramoedya bahkan Quesha. Pramoedya melihat bagaimana Quesha pulang dari masjid
dengan mukenanya dan alqur’an dilengannya. Senyumnya yang seperti menerangi
langkah kakinya dalam jalan sempit yang gelap menuju kos nya itu. Pramoedya
melihat dunia yang berbeda antara dia dan Quesha. Pramoedya merasakan nafas
yang berbeda, nafas yang terbiasa menegak minuman keras dan nafas yang terbiasa
melafalkan berulang-ulang firman Tuhan saat dulu Quesha menolongnya.
Tetapi membiarkan wanita seperti
Quesha terluka hanya karena tidak kuat melihatnya tak bisa keluar dari
kegelapan, jika itu harus melompat dan terjatuh terkantuk batu berulang sampai
matipun, jika itu harus menghabisi semua ancaman yang membuntutinya dan Quesha,
akan Pramoedya lakukan demi keluar dari
kegelapan dan menemui Quesha lagi dalam keadaan lebih baik. Keadaan yang
membuat Quesha lega dan nyaman.
“ Hai, Ayah sudah bangun. Sarapan,
sayang.”
Pramoedya tersenyum, mendekati
wanita yang meninggalkannya bangun duluan demi menyiapkan sarapan untuknya dan anaknya yang sedang duduk menonton TV. Dia
mencium kening Quesha.
“ Akbar, pencet angka 6 sayang. Ada
kartun favorit kamu disana” Quesha hanya
khawatir karena dia melihat anak pertamanya itu sedang disuguhi infotaiment di
dalam layar. Belakangan tayangan TV perlu sekali diawasi untuk anak seusia
Akbar. Dia hanya tidak ingin Akbar terputar rewind masa kelam ayahnya dulu lewat tayangan TV.
“ Kakak, coba kesini ayah mau lihat
gantengnya hari ini.”
Pelan, mengalun lagu peterpan
diiringi berita terbebasnya vokalis nya dari jeruji besi itu.
Bagai bunga harum nafasmu yang kurasa
Santun warna yang beri kesejukan
Hilangkan rasa gelap
Santun warna yang beri kesejukan
Hilangkan rasa gelap
Bagai sirna semua kata yang tak terungkap
Segala rasa yang tak pernah bicara
Tak pernah tak terucap
Segala rasa yang tak pernah bicara
Tak pernah tak terucap
Satu hati yang kuberi cinta kuberi rasa
Kuberikan sanjungan
Tuk saling cinta saling menjaga
Tuk saling menyatukan
Kuberikan sanjungan
Tuk saling cinta saling menjaga
Tuk saling menyatukan
Akbar berlari memeluk ayahnya,
Quesha tersenyum dan hatinya mengumam syukur. Lagu lawas itu masih mengalun
menggaung diseisi rumah. Menyetop rewind ingatan masalalu Pramoedya akan
kegelapan yang telah menghadiahinya satu hati yang akan dia jaga selamanya,
Quesha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thanks for your sweet comments on my blog! will reply it as soon as it possible :D