Minggu, 29 Juli 2012

#CerpenPeterpan


                   Satu (satunya) hati yang kuberi segalanya.

                Pramoedya mengerjap, telisik sinar yang melewati celah kecil dicendela yang tak tertutup horden itu menyentuh kulit diatas matanya, panas, silau sekali. Dia bergerak sedikit, mencoba membuka mata sepenuhnya, sekelilingnya masih samar lalu pelan-pelan dilihatnya disebelah gulingnya tak adalagi seorang wanita yang semalam juga berbaring disana. Dia menghembus nafas, lalu menghempas tubuhnya pelan ke ranjang, matanya memandang berkeliling ke langit-langit kamar, dengan sekali tarikan nafas dia bangkit terduduk.
            Setelah  Mengecek beberapa email pekerjaan yang masuk. Lalu dia meletakkan tabletnya dan meraih smartphone nya dan tersenyum menatap wallpaper yang terpampang disana. Wanita itu. Yang semalam berbaring disampingnya dan pagi saat membuka mata sudah tak ada dan sengaja tak membuka horden karena tau sinar matahari akan mengganggunya yang sedang kelelahan pulang lembur semalam.
            Senyum wanita ini, Quesha. Tuhan Maha melukis keindahan pada senyuman wanita ini. Tuhan Maha Baik dengan memberikan kekuatan pada sempilan rusuk lemah seperti Quesha dengan senyumnya yang dapat mengalahkan segalanya.
            Dia ingat sekali bagaimana dia pertamakali merasakan ada kekuatan dalam senyuman Quesha. Dia ingat. Tak akan pernah dilupakannya.
            Bagaimana Quesha setelah berteriak “ POLISI..! POLISI..!!” lalu berlutut kalah menahan airmata dengan senyumannya itu sambil memangku tubuh Pramoedya yang remuk sesaat setelah 5 orang pria bertubuh besar dengan otot-otot dan rupa menyeramkan menginjak, menendang, memukul dan hendak menghabisinya di belakang gang sempit kos Quesha.
            “ Berhentilah. Aku yakin kau pun tau semua orang akan mati. Dan aku tau kau akan pulih setelah besok kau pergi ke Dokter. Tapi tahukah kau, hatiku tidak bisa pulih lebih cepat dari luka disekujur tubuhmu ini? Teruslah hidup seperti ini jika kau sudah memberitahuku kemana aku bisa mendapatkan penyembuh luka dihati yang cepat. Kau dengar aku kan, Pram? “
            Quesha marah, tapi tersenyum. Dia menangis, tapi tersenyum. Dan itu senyum yang tulus. Bukan pura-pura untuk menutupi amarah dan kesedihannya. Tapi dia memang ingin tersenyum, melihat Pramoedya masih membuka mata dan bernafas meski tersengal.
            Saat itu benar-benar pertama kalinya Pram mendengar Quensha berbicara di depannya. Sebelumnya dia hanya mengenal Quesha lewat matanya yang diam-diam melirik ketika wanita itu tengah duduk diteras kosnya saat dia sedang pulang dari pemenuhan kebutuhannya itu. Sebenarnya Pramoedya terkejut, darimana Quesha tahu namanya saat itu.
            Pramoedya, dalam pandangannya yang samar seperti melihat ada cahaya berpendar di sekitar wajah ayu Quesha. Dia merasakan sekali tetesan airmata di luka robeknya yang menganga kecil itu. Perih, tapi dia merasa ada rasa nyaman yang seperti membebaskannya dari segala perih yang terbiasa dirasakannya itu.
            Pramoedya menarik nafas. Masalalu. Dia sebenarnya sudah membungkusnya lalu menaruhnya dalam semacam kotak dan sudah dibuangnya jauh-jauh. Tetapi setiap menatap foto Quesha disaat dia sedang sepi, serta merta seluruhnya kembali seperti tombol rewind ditekan oleh Tuhan. Mengembalikan masalalunya pelan-pelan dalam ingatannya.
            Kehilangan keluarga sedari kecil membuatnya tak mengerti jalan yang sebenarnya harus diambilnya yg mana. Dia hanya tau cara mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi metropolitan seperti menunjukkannya kebutuhan yang lebih dari yang seharusnya sudah puas dia dapat. Kebutuhan itu menuntutnya memiliki banyak sekali uang. Dan dia hanya mengenal cara yang dia lihat sewaktu masih gamang dijalanan sendirian.
            Parasnya yang tumbuh tampan itu membuatnya menarik dimata wanita kesepian yang hanya diselimuti uang oleh para suami. Tubuh nya itu bahkan menarik suami-suami yang bosan dengan para wanita.
            Drugs. Bukankan hal seperti ini tidak perlu dijelaskan. Drugs itu kebutuhannya. Dan dia demi mendapatkannya sengaja mencari uang dari pelukan wanita atau pria-pria berdasi yang pengawalnya seram sekali itu.
            Quesha. Selama ini dia duduk di teras melihat Pramoedya pulang sempoyongan membawa sesuatu digenggamannya. Kadang Pramoedya terlihat berjalan gagah, kadang terhuyung, sesekali memar-memar. Wanita itu, entah kenapa menyukai duduk diteras memandangi lelaki yang samar wajahnya karena gelap malam itu.
            Mungkin mereka tidak tahu, diatas sana Tuhan sedang tersenyum membiarkan keterbiasaan seperti itu membuat mereka harus menyadari kesengajaan yang sudah lama direncakan Tuhan untuk mereka. Tuhan hanya ingin tahu, bagaimana Pramoedya belajar di kegelapan dan tersenyum bahagia memuji Nama-Nya saat tiba ditempat yang penuh cahaya yaitu rumah dengan segala senyuman Quesha menyebar disudut-sudutnya.
            Tidak mudah lari dari kegelapan, apalagi mencoba berjalan tertatih keluar dari dalam nya, Ketika berhasil keluar, dari segala sudut ancaman itu menyelidik menguntit setiap langkah Pramoedya bahkan Quesha. Pramoedya melihat bagaimana Quesha pulang dari masjid dengan mukenanya dan alqur’an dilengannya. Senyumnya yang seperti menerangi langkah kakinya dalam jalan sempit yang gelap menuju kos nya itu. Pramoedya melihat dunia yang berbeda antara dia dan Quesha. Pramoedya merasakan nafas yang berbeda, nafas yang terbiasa menegak minuman keras dan nafas yang terbiasa melafalkan berulang-ulang firman Tuhan saat dulu Quesha menolongnya.
            Tetapi membiarkan wanita seperti Quesha terluka hanya karena tidak kuat melihatnya tak bisa keluar dari kegelapan, jika itu harus melompat dan terjatuh terkantuk batu berulang sampai matipun, jika itu harus menghabisi semua ancaman yang membuntutinya dan Quesha,  akan Pramoedya lakukan demi keluar dari kegelapan dan menemui Quesha lagi dalam keadaan lebih baik. Keadaan yang membuat Quesha lega dan nyaman.
            “ Hai, Ayah sudah bangun. Sarapan, sayang.”
            Pramoedya tersenyum, mendekati wanita yang meninggalkannya bangun duluan demi menyiapkan sarapan untuknya dan  anaknya yang sedang duduk menonton TV. Dia mencium kening Quesha.
            “ Akbar, pencet angka 6 sayang. Ada kartun favorit kamu disana”  Quesha hanya khawatir karena dia melihat anak pertamanya itu sedang disuguhi infotaiment di dalam layar. Belakangan tayangan TV perlu sekali diawasi untuk anak seusia Akbar. Dia hanya tidak ingin Akbar terputar rewind masa kelam ayahnya dulu lewat tayangan TV.
            “ Kakak, coba kesini ayah mau lihat gantengnya hari ini.”
            Pelan, mengalun lagu peterpan diiringi berita terbebasnya vokalis nya dari jeruji besi itu.
Bagai bunga harum nafasmu yang kurasa
Santun warna yang beri kesejukan
Hilangkan rasa gelap
Bagai sirna semua kata yang tak terungkap
Segala rasa yang tak pernah bicara
Tak pernah tak terucap
Satu hati yang kuberi cinta kuberi rasa
Kuberikan sanjungan
Tuk saling cinta saling menjaga
Tuk saling menyatukan
            Akbar berlari memeluk ayahnya, Quesha tersenyum dan hatinya mengumam syukur. Lagu lawas itu masih mengalun menggaung diseisi rumah. Menyetop rewind ingatan masalalu Pramoedya akan kegelapan yang telah menghadiahinya satu hati yang akan dia jaga selamanya, Quesha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks for your sweet comments on my blog! will reply it as soon as it possible :D