Kamis, 22 Maret 2012

Priska

Fajar bahkan masih malas keluar. Pucuk-pucuk daun bahkan belum dihampiri embun. Ayam jantan masih nyaman diperaduannya dengan si betinanya. Dan para alim belum ada yang bangkit mengambil wudhu untuk mengadu diatas sajadah padaNya. Tapi saat itu, aku sudah harus memaksa mata yang masih manja ini untuk terbuka. Aku dengan perintah sebagian indraku meraih ponsel yang terus berdenging bising. Entahlah, padahal biasanya seolah telinga ini mati rasa saja, level tertinggi volume benda kotak online ini tidak akan pernah sanggup membangunkanku bahkan, jika itu didekat telingaku. dan sekarang Aku terbangun? ini kenapa?

" Sakit sayang...sakiit sekali.."

Aku bahkan belum selesai menyeleseikan kalimat sapaanku padanya. Sebenarnya Aku juga belum sempurna terbangun. Tubuhku masih memeluk boneka pemberian Gadis dan Bintang setahun yang lalu itu. Tapi dalam ketidaksempurnaanku itu aku yakin sekali telingaku sempurna mendengar nada begitu terluka dari seretan kalimat dalam isakan itu.

" Aku tidak meminta dilahirkan sebagai anak tunggal. Sungguh. sekalipun aku tidak pernah protes ke Mama kenapa Aku harus hidup dalam sebuah perceraian. Sayang, ini sakit sekalii...bagaimana Aku harus menyalahkan Tuhan hanya karena aku ditakdirkanya sebagai anak tunggal? bagaimana bisa Bagas membuat semua ini menjadi alasan dia boleh mengkahiri hubungan kami? Sayang, ini sakiit.."

Dan kalimat repetisi terbata yang diucapakanya itu sempurna membangkitkanku.Lalu dengan sugesti apa Aku terduduk sambil meremas-remas kepala boneka pink yang ada dipelukku itu. Sahabatku itu, dia sedang sangat terluka sekali.

"Baru kemarin sayang, baru kemarin kami selesai merajut janji-janji masa depan. baru semalam Aku membuatkanya makan malam seperti biasanya. Mengobrol. Tak ada yang berbeda.Sungguh. Tak secuilpun keganjilan ada malam itu.Kebahagian kami masih utuh seperti hari-hari biasanya. Lalu, semua berubah begitu saja sejak dia berpamitan. Ya Tuhan, dia tidak berani mengatakanya saat kebahagiaan masih menyelimuti suasana makan kami...Dia menghujamkan belati itu hanya berselang dari Aku menelfon Mama. dia melakukanya sayang. Belati itu, dia hujamkan pelan sekali tepat dijantungku. Tidak merobeknya tapi air mataku yang terkoyak. Seketika meledak semua kebahagian yang kami kumpulkan dulu sayang. Dan belatinya itu adalah Aku yang seorang anak tunggal..."

"... Ya Tuhan, ingin sekali Aku marah saat itu padaMu. Tapi Aku tidak berani. Ingin sekali Aku bertanya banyak pada Bagas.tapi mulutku sayang, seperti hilang. Aku hanya mengeluarkan air mata. suaraku hilang. Jantungku berlarian dan terasa sakit sekali..."

Dan kini, jantungkupun demikian. berdetak terlalu cepat dan ngilu. Aku terengah-engah padahal dari tadi hanya duduk memeluk boneka dan memegang ponsel. Hatiku lelah sekali mendengar segala kalimat Priska. 

Ya Tuhan, Aku ingin memeluk sahabatku itu sekarang. Aku ingin berada disampingnya sekarang. Disana dia tak punya sandaran. Sungguh dia hanya sendirian disana sekarang, menangis mengaduh hanya padaMu. Dia menghapus airmatanya sendirian dengan tangan mungilnya itu. Tak ada senyuman untuk menguatkanya. Tak ada. Sungguh. Sekuatnya Aku berusaha untuk tak terdengar terisak. Malam ini cukup dia saja yang boleh terisak sampai seperti itu. Tidak dengan Aku. Aku harus menguatkannya.

"Aku harus bagaimana sayang? bagaimana? kamu tahu sekali Aku mencintainya. Kamu tahu sekali kami hampir menikah. Semuanya telah siap begitu dekat. Ya Tuhan, bagaimana bisa kini Aku hidup membenci sesuatu yang masih Aku cintai? Aku benci sekali cara dia melakukan ini. Aku benci sekali alasan dia. dia jahat sekali, jahat! tapi bagaimana Aku ini? Aku masih menuntut banyak penjelasan. Aku menagih banyak sekali jawaban yang lebih nyata tentang alasan semuanya harus diakhiri. Aku melakukanya dengan jelas. Terlalu terang dimatanya Aku masih mencintainya. Aku sungguh baru terbiasa hidup dengan cintanya. Dan sekarang Aku harus membencinya seperti ini, Aku kalah..."

Kini bagianku. Aku tak tau harus mulai dari mana. Sedikitpun Aku tak punya pengalaman tentang hal seperti ini. Aku ingin sekali bertanya kenapa harus kepada Aku dia mengadu. Diantara sekian banyak sahabat kami. hingga Aku terkatuk pada kenyataan bahwa hanya Aku yang tahu tentang hubungan mereka. Ya Tuhan, iya. Hanya Aku yang tahu awal tumbuhnya rasa cinta yang buru-buru tertanam begitu mengakar pada hati Priska. Dan sekarang hanya Aku juga yang tau tercabutnya segala rasa itu. Begitu saja. Dalam semalam.

"Aku tidak berangkat bekerja sayang. Semua rekan mengenali jenis hubungan kami seperti apa. Mataku terlalu mencolok untuk terlihat dikantor pagi nanti. Aku menangis belum berenti hingga kalimat ini. Aku sungguh tak tau cara menghadapinya pagi nanti."

Aku ingin sekali menyalahkan sahabatku ini. Sejak awal, ku ulang-ulangi mengingatkanya agar tak memelihara cinta seperti ini. Sejak awal Aku sudah tak nyaman dengan awal tumbuhnya cinta ini, Aku yang tak menjalaninya meragu sekali dengan kecepatan tertanamnya rasa itu.

Aku saat itu jujur ingin sekali membentaknya, berteriak " Jangan jatuh cinta padanya!" tapi, hatinya kecil sekali. Hatinya itu rapuh sekali. Dan Bagas menyembuhkanya begitu cepat. Memenuhinya hingga tak bersisa celah lagi. Aku yang berada ribuan kilometer darinya jelas tak bisa mencegah semua dengan berteriak dari ujung sambungan telfon saja.Hingga Aku pasrah pada cerita-cerita bahagia yang selalu dibaginya padaku. Aku berdamai dengan janji masa depan yang begitu manis mereka rajut bersama-sama.

Tapi semuanya kini bagai elpiji yang tak tersulut apa-apa, meledak begitu saja melukai pemiliknya dan menyisakan puing-puing serpihan kebahagiaan disekitar hidupnya. 

"Katakan aku harus bagaimana sayang? Bagaimana caraku menegurnya nanti, bagaimana caraku harus membiasakan diri dengan dia dihadapanku dengan hati tak berisi Aku lagi, dengan mata yang tak ada bayanganku lagi? bagaimana Aku bisa menghadapinya dengan mataku yang masih kentara sekali mencampur cinta dan benci? bagaimana ini...?"

"Berhentilah...berhentilah bercerita. bagaimana bisa aku mengambil porsiku untuk menjalaskan bagaimana seharusnya kamu?!aku tau. tidak perlu begitu panjang kamu menjalaskan. lukamu jelas sekali kamu bagi lewat suaramu itu.Berhentilah membuat dirimu sendiri terpuruk dengan kalimat-kalimatmu itu!"

Apapun yang menguasaiku, demi Tuhan, Aku sepertinya jahat sekali dengan kalimatku tadi. Aku sudah tak tahan. Daritadi Aku ingin menyuruhnya diam tanpa membentak. Kalimatnya itu justru semakin membuat lukanya semakin terkoyak menganga.

"Aku tak bermaksud membentakmu. Berhentilah takut padanya. Kamu tak salah maka, Kamu tak seharusnya takut. Sungguh, sedikitpun jangan pernah menghindarinya. Dia pikir dia siapa terlihat begitu hebat membuatmu takut menemuinya. Hadapilah dia! perlihatkan kamu tak sedikitpun berhasil dibuatnya menyesal menjadi seorang anak tunggal.Demi Mamamu Priska. berusahalah berhenti lemah didepan orang yang melemahkan lututmu dengan bisikan-bisikan cintanya dulu. Demi mereka yang menghadirkan segala cinta tak bersyarat apa-apa padamu Priska, berdirilah pagi nanti! tataplah matanya, lalu, secepat yang kamu mampu ukir saja senyuman terlukamu tepat dikanvas yang ada dimatanya. Biarkan dia mengerti bahwa dia pernah terlalu terburu-buru menjanjikanmu masa depan."

Isakanya terhenti. apapun yang dipikirkanya saat ini, nyatanya Aku memang hanya sebatas itu mampu menjanjikanya sebagai pendengar yang patuh dan Aku berusaha mengambil porsi sahabat memberinya solusi dengan kemampuan sedebuku.

"Iya. Aku mau tegar. Aku mau berdiri lagi. Tapi bayangan wajahnya itu. Kejam sekali. Serta merta melumpuhkan segalanya. astagaa...demi Mamaku Tuhan, Aku ingin melawan semuanya. Demi semua yang masih menginginka Aku kuat, Aku akan menemuinya besok dan bersikap biasa padanya."

"Aku tau. Aku percaya. Aku, sepertinya punya keyakinan cukup bahwa kamu akan mampu"


Udara dia dataran tinggi pada pagi hari memang selalu meminta pasangan serasi secangkir teh manis hangat. Ah, Aku bahkan belum terbiasa dengan sentuhan-sentuhan dingin yang lembut sekalipun dikulitku. Aku masih manja dengan selimut dan bonekaku. Mencarikan pasangan udara dingin ini, masih membutuhkan beberapa bujukan dari luar pintu kamar yang biasa mengetuk menyuruh bangun.

Kebiasaan seperti ini selalu berisi dengan menghidupkan gadget-gadget yang berserakan di bed. Lalu mulai mengecek segala notifikasi di sosial media, sms, dan telfon-telfon yang mungkin masuk saat Aku terlelap semalam.

- sayang, aku kecelakaan. tenang saja, tidak parah. sungguh. aku tidak mencelakakan diri. Bagas sedang merawatku sekarang. dia tak sengaja menemukanku diantara kerumunan orang tadi pagi-

Darah itu memanas begitu cepat dan seolah meluncur deras sekali memenuhi segala organ yang membutuhkanya. Tapi jantungku terkesiap begitu saja. Tanganku seakan rapuh sekali tak mampu memegang ponsel, hingga terjatuh begitu saja diatas perutku. Itulah temanku. Priska. Aku bisa apalagi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thanks for your sweet comments on my blog! will reply it as soon as it possible :D